Wednesday, November 25, 2020

A. Zaman Kegelapan di Dunia Islam (Zaman Jahiliah)

Kata jahiliah berasal dari bahasa Arab, yaitu jahala yang berarti jahil dan tidak berilmu atau tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Istilah ini telah digunakan oleh orang Islam untuk menggambarkan perubahan yang dibawa oleh Islam dalam corak kehidupan dan pemikiran masyarakat. 

Masyarakat Arab Jahiliah adalah masyarakat yang hidup di Semenanjung Tanah Arab pada masa selepas runtuhnya pemerintahan Maarib di Sabak. Zaman Jahiliah ini berlangsung lebih kurang 310 tahun, yaitu dari tahun 300 M hingga 610 M. Masyarakat Arab golongan ini disebut sebagai masyarakat Arab Jahiliah karena mereka tidak mengikuti ajaran para nabi dan rasul sebelumnya seperti Nabi Sulaiman, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain. 

Zaman Jahiliah dianggap sebagai zaman kegelapan kerana masyarakat Arab Jahiliah tidak menyembah Allah Yang Maha Esa, namun kebanyakan mereka menyembah berhala dan mempercayai animisme. Kehidupan masyarakat Arab di zaman Jahiliah adalah liar bagaikan di hutan rimba dengan hukum rimba pula yang berlaku di masa itu. Karena pada masa itu, tiada nabi atau rasul dan kitab suci yang bisa dijadikan petunjuk dalam kehidupan. Ahklak mereka begitu rendah, mereka bersifat kejam, angkuh dan dengki. Dengan kedatangan Islam, kehidupan masyarakat Arab Jahiliah mulai mengalami proses perubahan.

Salah seorang tokoh muslim yang sangat berjasa dalam mendorong umat Islam untuk meninggalkan era Jahiliah adalah Imam Shadiq. Imam Shadiq as lahir tanggal 17 Rabiul Awal tahun 83 Hijriah, di kota Madinah. Sampai dengan usia 12 tahun, ia diasuh oleh kakeknya, Imam Sajjad as, dan 19 tahun kemudian, ia berada di bawah bimbingan ayah kandungnya, Imam Muhammad Baqir as. Imam Shadiq as hidup di masa ketika Dinasti Bani Umayah sedang mengalami kemunduran dan Dinasti Bani Abbasiah mulai merebut kekuasaan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Imam Shadiq untuk menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang murni dan hakiki. 

Selain menguasai ilmu dan makrifat Islam, Imam Shadiq as juga menguasai ilmu kedokteran, kimia, matematika, dan bidang-bidang ilmu lainnya. Pada masa hidupnya, Imam Shadiq adalah sumber rujukan ilmu pengetahuan dan dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru dunia untuk meminta jawaban atas berbagai persoalan ilmiah. Tercatat ada 4.000 murid yang belajar kepada Imam Shadiq as, di antaranya adalah Jabir bin Hayyan, seorang kimiawan muslim yang sangat terkenal. 

Periode Imam Shadiq as adalah kesempatan emas untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran suci Islam. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, banyak terjadi penyimpangan terhadap ajaran-ajaran murni Islam, bahkan masyarakat lupa tentang bagaimana menunaikan shalat dan haji dengan benar. Hal itu disebabkan karena kesibukan mereka dengan berbagai urusan dunia seperti penaklukan wilayah atau negara, masalah keuangan, dan berbagai persoalan lainnya.

Penyimpangan-penyimpangan di masa itu terjadi sebagai dampak dari pelarangan penulisan hadits dan munculnya hadits-hadits palsu di tengah masyarakat Islam sejak masa kekuasaan Muawiyah. Agama Islam di masa itu berada dalam bahaya dan di ambang kehancuran. Sementara ilmu pengetahuan ditinggalkan dan terisolasi, sedangkan para ulama tidak memiliki sumber shahih untuk mengenalkan agama Islam. Selain itu, terjadi berbagai bentrokan dan konflik di antara kelompok-kelompok politik dan sosial. Berbagai perselisihan yang terjadi menyebabkan lemahnya pemerintahan Bani Umayah dan akhirnya diambil alih oleh pemerintahan Abbasiyah. 

Situasi politik yang terbuka akibat lemahnya badan-badan pemerintahan di masa itu, dimanfaatkan oleh Imam Shadiq as untuk menyebarkan ajaran-ajaran murni Islam. Beliau melanjutkan gerakan ilmiah dan budaya yang sebelumnya dilakukan oleh ayahnya dengan membuka Hauzah Ilmiah di berbagai bidang ilmu dan mendidik ribuan murid. Murid-murid Imam Shadiq yang menguasai ribuan hadits di berbagai cabang ilmu seperti tafsir, fiqih, sejarah, akhlak, kalam, kedokteran, kimia dan lain sebagainya, sangat berpengaruh dalam menyebarkan hadits-hadits shahih Nabi Muhammad SAW dan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Hal itulah yang menjadi penghalang bagi munculnya kembali berbagai penyimpangan di tengah-tengah masyarakat Islam.

Murid-murid Imam Shadiq as yang mencapai 4.000 orang paling tidak telah mampu menghapus banyak penyimpangan dan syubhat, dan mengakhiri kemandekan budaya islami akibat pelarangan menukil hadits. Beliau mendorong dan mendidik setiap muridnya sesuai dengan bidang, bakat dan kapasitas murid tersebut. Hasilnya, setiap muridnya mampu menguasai satu atau dua bidang ilmu seperti hadits, tafsir, ilmu kalam, dan cabang-cabang ilmu lainnya. 

Menariknya, Imam Shadiq as meminta setiap muridnya untuk berbicara tentang cabang ilmu tertentu dan kemudian mendiskusikan hal itu dengan mereka. Metode ini bertujuan agar semua mengetahui keahlian apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mubaligh. 

Melalui perluasan budaya islami, Imam Shadiq as berusaha menghapus kebodohan umat Islam. Dari satu sisi, beliau berusaha memerangi kerusakan politik di Bani Umayah dan Abasiyah dan dari sisi lainnya, cucu Rasulullah SAW itu berusaha memerangi berbagai penyimpangan akidah, persepsi dan interpretasi keliru tentang agama. 

Untuk meluruskan penafsiran keliru yang diakibatkan oleh ketidakpahaman terhadap dasar-dasar pemahaman ayat itu, Imam Shadiq as pernah membacakan Surat al-Maidah Ayat 27, “Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban (perbuatan baik) dari orang-orang yang bertakwa.” 

Jadi, jika perbuatan tersebut tidak sah maka tidak akan mendatangkan pahala apapun. Pada dasarnya, menjauhi sumber wahyu akan menyebabkan munculnya orang-orang yang mengklaim memiliki ilmu tetapi sebenarnya tidak memahami dasar-dasar Al-Qur’an dan agama.

Imam Shadiq as adalah sosok yang memiliki kesabaran dan toleransi yang tinggi. Beliau tidak hanya sopan dan ramah kepada umat Islam saja tetapi juga kepada pemeluk agama lain bahkan kepada orang-orang musrik dan kafir. Meski demikian, beliau sangat keras dan tegas terhadap kelompok ghulat yang membesar-besarkan Ahlul Bait as dan mensifati mereka dengan sifat-sifat yang Ahlul Bait as sendiri tidak menerimanya.

Keyakinan kelompok-kelompok ghulat adalah ancaman besar bagi dunia Islam. Imam Shadiq as yang memahami ancaman itu segera mengambil langkah-langkah untuk memerangi pemikiran keliru dan ekstrim tersebut. Sebab, kecintaan yang bercampur dengan kebodohan akan melemahkan setiap akar keyakinan dan agama. Situasi itu juga akan membuka peluang bagi musuh untuk menghantam Islam.

Salah satu langkah Imam Shadiq as dalam memerangi kelompok ghulat adalah memberikan petunjuk kepada masyarakat ke jalan yang benar, menjelaskan akidah murni Islam dan mengungkap keyakinan keliru kelompok-kelompok tersebut. Dengan demikian, Imam Shadiq as telah memisahkan antara yang haq dan yang batil. Beliau juga melarang keras masyarakat untuk duduk bersama dengan orang-orang ghulat dan memperingatkan kaum muda tentang bahaya akidah kelompok sesat itu. 

Imam Shadiq as berkata, “Hendaklah pemuda-pemuda kalian waspada terhadap orang-orang ghulat supaya mereka tidak dirusak oleh kelompok tersebut. Sebab, orang-orang ghulat adalah seburuk-buruknya ciptaan Tuhan. Mereka meremehkan kebesaran Tuhan dan mengklaim hamba Tuhan sebagai Tuhan. Aku bersumpah bahwa orang-orang ghulat lebih buruk dari pada Yahudi, Nasrani, Majusi dan orang-orang musrik.” 

Imam Shadiq as di setiap kesempatan selalu menentang pemerintahan-pemerintahan taghut. Beliau tidak pernah menyerah terhadap tekanan dinasti-dinasti zalim di masa itu. Beliau bahkan selalu memerangi kejahatan pemerintah taghut dan akhirnya meneguk cawan kesyahidan pada tahun 148 Hijriah.


No comments:

Post a Comment

3. Al-Farazi

Al-Farazi (wafat pada tahun 790 M) adalah perintis alat astrolab planisferis yaitu mesin hitung analog pertama, sebagai alat bantu astronomi...